News

Esensi Sepak Bola Kita Sudah Hilang

Wawancara Bambang Pamungkas dengan Kompas

Dia sudah menjadi ikon sepak bola di Tanah Air satu dekade terakhir. Segala sepak terjangnya selalu menjadi buah bibir penggemar sepak bola. Saat perpecahan melanda sepak bola negeri ini sekitar dua tahun terakhir, langkah-langkahnya sulit ditebak dan sering mengejutkan.

Bambang Pamungkas, striker tim nasional, telah belasan tahun mewarnai lembaran sepak bola nasional. Ia kenyang dengan segala macam pujian, makian, bahkan hingga ancaman akan dibunuh penggemarnya. Tekanan itu terus diterimanya hingga hari ini, saat ia juga aktif dalam gerakan advokasi memperjuangkan hak-hak pemain sepak bola melalui Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI). Di APPI, ia wakil presidennya.

Namun, justru dengan langkah-langkahnya yang terakhir itu, pemain yang akrab disapa Bepe itu mendapat apresiasi seorang kolumnis sepak bola Asia yang memasukkannya dalam jajaran “10 Pemain Terbaik Asia 2012”. Di kalangan wartawan, Bepe dikenal pemain yang amat sangat selektif memberi keterangan pers. Hanya pada konferensi pers resmi ia biasa buka mulut kepada wartawan.

Namun, segalanya benar-benar berbeda, Rabu (9/1/2013) siang itu. Ditemani Mulyawan Munial (Presiden Direktur Munial Sport Group/MSG) dan sahabatnya, Yudhi F Oktaviadi (wartawan Tabloid Bola), hampir tiga jam ia menerima Kompas di kantor MSG, Kemang, Jakarta Selatan. Ia memaparkan sikap dan pikiran-pikirannya secara panjang lebar seputar situasi sepak bola nasional akhir-akhir ini dan sepak terjang dirinya.

Petikan wawancara lengkap tersebut akan dimuat secara berseri. Berikut ini bagian pertama petikan wawancara dengan ayah dari tiga putri itu:

Akhir Desember 2012, seorang kolumnis sepak bola Asia memasukkan Anda dalam Top Ten Asian Players 2012. Bukan semata karena performa di lapangan, tetapi lebih karena kegetolan Anda menyuarakan hak-hak pemain yang gaji mereka tertunggak di klub serta terkait visi dan kepemimpinan Anda di tengah perpecahan sepak bola negeri ini. Tanggapan Anda?

Jujur awalnya saya sangat kaget. Karena, saya tidak pernah berpikir masuk 10 Besar Pemain Terbaik Asia. Tetapi, setelah saya baca, bisa dipahami bahwa mungkin tindakan-tindakan yang saya lakukan kemarin membuat mereka mengapresiasi itu.

Jadi, jujur ini suatu kebanggaan bagi saya. Tetapi, lebih dari itu, saya ingin memberi semacam contoh bahwa pada akhirnya (di tengah) segala konflik ini, pemain mempunyai semacam peranan yang bisa dilakukan untuk turut mencari jalan penyelesaian yang terbaik untuk konflik ini. Artinya, bagaimana kita memilih tim nasional yang betul, bagaimana kita berdiri di antara kedua belah yang berseteru.

Karena, menurut saya, saat ini banyak sekali pemain yang belum sadar bahwa mereka adalah aset, belum sadar bahwa mereka sebuah komponen penting dari berjalannya sebuah kompetisi.

Sejujurnya tidak pernah terpikir dalam benak saya untuk masuk dalam daftar tersebut. Jika apa yang saya lakukan diapresiasi positif oleh media asing, untuk itu saya sangat bersyukur. Ini bukti persepakbolaan kita masih dipandang oleh dunia internasional. Akan tetapi, sayangnya dalam dua tahun terakhir, apa yang tergambar dari wajah persepakbolaan kita hampir semuanya negatif.

Itu tentu kado manis buat Anda di Tahun Baru 2013. Tetapi, awal tahun ini Anda mogok, menolak bermain untuk klub Anda, Persija, sebagai protes atas tertunggaknya lima bulan gaji Anda dan rekan-rekan Anda. Apa yang sebenarnya terjadi?

Sebenarnya ada kesepakatan antara saya, mewakili teman-teman di Persija, dengan manajemen, dalam hal ini bahwa tidak ada pembicaraan kontrak untuk musim ini sebelum segala kewajiban mereka musim lalu diselesaikan. Artinya, pembicaraan itu sudah lama terjadi. Dan ketika pada deadline memang mereka tidak menyanggupi itu, ada suatu tindakan yang harus kami lakukan.

Kita tidak bicara hanya hak saya, hak Ismed (Sofyan), atau hak beberapa pemain. Tetapi, kita bicara 30 pemain yang musim lalu menjadi bagian skuad Persija, termasuk kitman (staf penyedia kostum tim), pelatih, pemain asing, dan lain sebagainya. Artinya, ketika kita bicara sebuah kesepakatan, artinya harusnya manajemen tahu ini akan terjadi ketika mereka tidak bisa menyanggupi kesepakatan itu.

Jadi, jujur ini sebenarnya sebuah dilema besar bagi saya karena saya dibenturkan pada dua buah hal yang benar-benar sangat prinsip. Yaitu, kecintaan saya terhadap Persija dan juga tanggung jawab saya kepada teman-teman sebagai seorang kapten. Artinya, bahwa 12 tahun saya mengabdi di Persija, tentu sangat berat bagi saya untuk melakukan hal ini.

Di sisi lain saya adalah kapten Persija dan saya berkewajiban untuk memperjuangkan hak teman-teman saya yang tahun kemarin telah bekerja keras untuk Persija. Jadi, ini bukan masalah loyalitas, tetapi suatu tanggung jawab yang harus saya jalani. Dan saya yakin, kapten-kapten yang lain akan melakukan hal yang sama.

Kapan persisnya kesepakatan dengan manajemen Persija yang Anda sebut itu?

Tepat akhir musim yang lalu. Artinya, mungkin tiga bulan yang lalu kita sudah menyampaikan hal itu dan manajemen waktu itu menyanggupi. Tetapi, pada akhirnya ketika pada hari H mereka tidak bisa menyelesaikan, maka saya pikir mereka sudah tahu konsekuensinya bahwa kami tidak akan main.

Apakah masalah tunggakan gaji pemain baru terjadi pertama kali ini di Persija maupun juga di klub-klub lain?

Kalau kita bicara keterlambatan gaji di sepak bola Indonesia, maka ini bukan lagi masalah beberapa tahun terakhir, tetapi sudah puluhan tahun, menurut saya. Banyak sekali. Tetapi, sebelumnya tidak terlalu diekspos karena mungkin belum ada asosiasi pemain yang menaungi pemain-pemain profesional. Kedua, mungkin tidak sebanyak yang terjadi tahun kemarin.

Kita tidak bisa pungkiri bahwa dualisme sangat berpengaruh pada kinerja tim untuk mencari sponsor. Dan itu berimbas kepada pemain-pemain yang, menurut saya, banyak sekali yang tidak mendapatkan haknya. Kalau boleh saya data, mungkin kurang lebih ada 200 pemain di seluruh Indonesia yang haknya masih tertunggak. Mungkin ada 10 klub.

Itu yang sedang kita perjuangkan. Bahwa harus ada hal yang membuat mereka kembali bermain. Bahwa, hak mereka harus diselesaikan. Mungkin tidak bisa satu kali, tetapi ada term di mana ada skema apa yang disepakati kedua belah pihak untuk menyelesaikan ini. Karena sekali lagi, ketika sebuah klub meminta pemahaman dari pemain, maka klub juga harus memahami kesulitan pemain. Sesimpel itu sebenarnya.

Aksi mogok ini pertama kali terjadi di Indonesia?

Kalau aksi ini untuk pemain, betul mungkin baru tahun ini karena tahun ini luar biasa besar sekali permasalahan ini terjadi. Bagi kami seperti ini. Sepak bola itu kan hakekatnya dimainkan untuk menjalin persahabatan, persatuan. Tetapi, itu artinya ada saling menghargai di sana. Saling menghargai, esensi itu yang hilang. Karena bagaimana disebut menghargai ketika satu pihak menuntut pihak lain untuk melakukan kewajibannya, sedangkan sebagian haknya tidak dipenuhi, dan sebaliknya.

Artinya, menurut saya, ada esensi yang hilang dalam sepak bola Indonesia saat ini. Itu membuat salah satu komponen yang terkait merasa dirugikan, dalam hal ini pemain. Dan itu yang coba yang kita wakili untuk kita perjuangkan melalui asosiasi pemain. Dalam hal ini saya dan Ponaryo (Astaman) memperjuangkan itu.

Jadi, lebih tanggung jawab saya pada profesi saya. Mungkin akan susah sekali memulai perjuangan ini. Kebetulan di Exco APPI, kami anggota yang paling senior, tetapi kita bicara ke depan. Mungkin sulit bagi kita untuk berjuang sekarang, tetapi insya Allah ini untuk generasi yang datang.

Apakah aksi mogok itu juga akan dilakukan di klub-klub lain, di Liga Super Indonesia maupun Liga Primer Indonesia?

Kalau di klub-klub lain saya belum begitu tahu. Karena, setiap pemain mempunyai pembicaraan masing-masing dengan klub masing-masing, mempunyai kesepakatan masing-masing. Kesepakatan yang kami sepakati antara Persija dan pemainnya berbeda dengan tim lain.

Akan tetapi, dari APPI sendiri ada kesepakatan bahwa harus ada penyelesaian sampai bulan Maret mengingat bulan Maret adalah deadline yang diberikan oleh FIFA untuk penyelesaian segala masalah di Indonesia. Ketika sampai bulan Maret tidak ada penyelesaian, maka mungkin akan ada sesuatu yang bisa jadi lebih besar yang akan kita lakukan.

Keadaan Ini Sudah Tidak Bisa Ditoleransi Lagi
Perjuangan Bambang Pamungkas kini tidak hanya terbatas di tengah lapangan sepak bola. Belakangan ia dan rekan-rekannya sesama pemain sepak bola aktif dalam Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI). Ini adalah asosiasi pemain sepak bola profesional Indonesia yang menginduk pada Federasi Internasional Pesepakbola Profesional (FIFPro), yang diakui FIFA.

APPI diketuai mantan kapten tim nasional Ponaryo Astaman. Bambang adalah wakilnya. Apa maksud didirikannya asosiasi itu dan apa pula yang mereka lakukan di saat banyak pemain sepak bola negeri ini masih tertunggak gaji mereka di klub-klub masing-masing? Berikut lanjutan wawancara dengan pemain yang akrab dipanggil Bepe itu:

Anda sekarang bertransformasi dari pemain profesional yang sangat loyal menjadi aktivis perjuangan hak-hak pemain?

Sebenarnya bukan. Tetapi, seperti yang saya katakan tadi bahwa kami di APPI adalah pemain-pemain yang cukup lama, cukup senior, yang mungkin masa kami bermain tinggal dua-tiga tahun lagi. Kami ingin membangun sebuah pondasi yang kuat bagi generasi di bawah kami.

Artinya, ketika kami memperjuangkan kesetaraan bagi pemain agar pemain tidak lagi dipandang sebelah mata oleh klub, tidak lagi diperlakukan semena-mena oleh manajemen, kami berpikir ke depan bahwa dengan perjuangan kami ini, insya Allah lima, 10, 12, 20, atau 30 tahun lagi pemain tidak lagi diperlakukan seperti ini.

Jadi, kita berbicara tidak hanya untuk waktu yang dekat, tetapi untuk masa yang akan datang. Karena bagi kami, ini sebuah tanggung jawab moral. Karena, kebanyakan dari kami pernah merasakan hal yang sama dan sekarang adalah saatnya pemain untuk bersikap, melihat begitu banyak kasus yang, menurut saya, sangat menyedihkan, sampai ada pemain yang meninggal dan sampai ada yang masuk rumah sakit. Menurut saya, ini sudah tidak bisa lagi ditoleransi.

Bagaimana tanggapan pemain-pemain lain atas gerakan yang Anda rintis bersama rekan-rekan di APPI?

Menurut saya, banyak yang mendukung dan banyak yang setuju. Akan tetapi, di sisi yang lain banyak juga yang masih takut menyuarakan suara mereka. Karena, kita tahu, begitu besarnya tekanan dari pengurus, dari pemilik klub mengenai hal ini.

Salah satu pekerjaan terberat kami di APPI adalah menyadarkan bahwa hubungan kerja pemain dengan klub bukan sebagai hubungan majikan dan pekerja. Akan tetapi, kita setara. Ada saat di mana pemain harus melakukan kewajibannya, tetapi di sisi lain juga ada saat manajemen harus melakukan kewajibannya. Artinya, kita di sini balance.

Nah, kesadaran itu yang masih minim di para pemain kita. Mereka masih berpikir bahwa klub itu majikan mereka sehingga apa yang mereka putuskan, pemain harus ikut. Ini yang coba kita edukasi kepada mereka. Jadi, ke depan pemain Indonesia diharapkan lebih mengerti masalah memproteksi diri, lebih mengerti masalah value diri mereka sendiri. Ini yang coba ingin kita tularkan pada pemain-pemain muda ke depan.

Apa yang membuat mereka bersikap terkesan apatis? Apakah mereka dininabobokkan atau berada dalam zona nyaman yang sulit mereka tinggalkan?

Agak susah untuk menyampaikan itu. Karena, kesulitan dan kenyamanan setiap pemain dalam setiap tim berbeda-beda. Kebetulan saya sendiri memang hanya bermain di Persija selama 12 tahun sehingga saya tidak begitu mengetahui bagaimana kinerja tim-tim lain.

Akan tetapi, itu kembali pada rasa kebersamaan di setiap pemain itu sendiri. Artinya, ketika kita merasa senasib sebagai pemain sepak bola, kita melihat teman seprofesi kita mengalami masalah, tentu kita punya kewajiban moral untuk bersama-sama bagaimana membantu.

Selama ini kita hanya, katakanlah patungan, membantu teman-teman kita yang bermasalah. Tetapi, bagi saya, sampai kapan kita akan melakukan hal itu?

Artinya, harus ada proteksi secara hukum bagi pemain sehingga tidak perlu lagi melakukan hal seperti itu. Artinya, harus ada proteksi pembayaran gaji harus diselesaikan, harus ada semacam asuransi mungkin, dan itu yang sedang kita perjuangkan. Karena, seharusnya ketika sebuah klub menunggak gaji pemain musim lalu, dia tidak berhak mendaftarkan pemain baru untuk musim berikutnya.

Tapi, di sini itu tidak berlaku. Itu yang coba kita sosialisasikan kepada pemain, bagaimana ada peraturan-peraturan yang memang bisa kita gunakan untuk menekan klub. Tetapi sekali lagi, butuh waktu untuk itu. Tetapi, menurut saya, kalau tidak memulai dari sekarang, sampai kapan pun sepak bola kita akan seperti ini.

Mengenai kontrak pemain sepak bola, sebenarnya bagaimana realitas kontrak pemain dengan klub?

Sebenarnya sepak bola di Indonesia sudah bisa menjadi sebuah komoditas. Artinya, banyak sekali sponsor. Janganlah kita bicara klub, personal pun sudah banyak pemain yang di-endorse sebuah produk untuk menjadi spokeperson mereka. Artinya bahwa pemain sepak bola sudah bisa dijual. Kalau kita bicara pemain sudah bisa dijual, tentu klub seharusnya sudah bisa dijual.

Tetapi, ada hal-hal yang membuat ini tersendat, mungkin birokrasi, mungkin apa yang saya sendiri pernah tidak tahu. Tidak semua pemain mengerti masalah organisasi, dan sebaliknya, tidak semua pengurus mengerti masalah main bola. Jadi, ada yang harus dipisahkan.

Tetapi, sekali lagi saya berbicara tentang Persija, ketika Sriwijaya atau Persiba bermain dengan (kostum berlogo) Bank Sumsel atau Bank Kaltim, kenapa Bank DKI tidak ada di dada Persija. Itu tentu menjadi hal yang bisa dipertanyakan. Hal-hal seperti itu saya tidak tahu, mengapa tidak berjalan. Jadi, harus perlu pembenahan.

Apakah angka kontrak pemain yang selama ini beredar, termasuk kontrak Anda yang nilainya sangat fantastis, riil dan sesuai realitas sebenarnya?

Saya tidak pernah yakin angka yang beredar di media itu riil. Karena setiap pemain, kalau kita bicara masalah angka kontrak di Indonesia, ini masih sangat-sangat sensitif. Terkadang klub mengeluarkan angka yang bisa dipahami publik walaupun angka nominal pastinya, saya tidak begitu yakin apakah itu sesuai. Seperti saya misalnya, beberapa tahun terakhir angka yang keluar di publik dengan yang saya terima tidak sama. Saya tidak ingin mengatakan lebih besar atau lebih kecil. Tetapi artinya tidak sesuai.

Itu tidak bisa disalahkan juga karena terkadang Anda harus paham bahwa masyarakat kita belum terbiasa untuk menerima hal yang terbuka. Kita berbeda ketika kita berbicara di Eropa, seorang pemain terlihat dengan harga berapa dan orang terbiasa (dengan itu). Di Indonesia itu belum (biasa) dan masih tabulah.

Saya tidak tahu tentang kontrak teman-teman saya, itu sesuai atau tidak. Tetapi, kalau saya pribadi mengatakan, beberapa tahun terakhir (nilai kontrak yang beredar) tidak sesuai dengan saya terima. Sekali lagi, saya tidak ingin mengatakan lebih besar atau lebih kecil. Pada kenyataannya, tidak sama.

Anda tidak merasa terganggu, nilai kontrak Anda sebenarnya tidak sesuai dengan angka yang beredar di kalangan publik?

Saya base on apa yang saya tandatangani. Artinya, ketika ada yang berkompeten menanyakan hal, saya akan jawab apa adanya. Tetapi, ketika itu beredar di publik, apa yang harus saya lakukan? Tentu, saya tidak ingin menjelaskan ke semua orang bahwa itu salah. Bahwa itu kembali ke pemahaman masing-masing. Saya yakin, di Indonesia itu hal yang masih tabu dan orang tidak akan membicarakannya.

Melihat krisis keuangan di klub, menurut Anda, apakah pemain-pemain tidak over-valued dari segi kontrak dan gaji?

Ini hal yang sangat sensitif sebenarnya. Value ini depends on bagaimana klub melihat itu. Ketika sebuah klub melihat harga segitu tidak pantas untuk si A misalnya, sementara klub lain melihat itu pantas untuk si A, maka (harga) itu menjadi hal yang wajar bagi tim lain, tetapi tidak pantas bagi tim (lainnya). Sekali lagi, itu tergantung pada klub yang memandang tersebut.

Saya sendiri tidak ingin mengatakan bahwa salary cap merupakan hal yang harus dicoba di Indonesia. Karena, itu pasti akan banyak pihak yang menentang. Akan tetapi, sekali lagi, kalau kita bicara demi kebaikan bersama, bisa jadi itu (salary cap) mungkin sesuatu yang harus dilakukan.

Tetapi, sekali lagi, kalau (salary cap) itu toh dilakukan, siapa  yang menjamin bahwa gaji tidak juga terlambat? Kan seperti itu pertanyaannya. Apakah dengan pemberlakuan salary cap, gaji akan tepat waktu kalau tidak ada standar hukum yang memproteksi itu?

Jadi, banyak hal yang perlu dikaji mengenai hal itu. Kalau kita mempunyai peraturan yang jelas bahwa ketika tim yang tidak bisa menyelesaikan kewajiban mereka musim lalu, tidak bisa mengikuti kompetisi musim depan, tentu dengan salary cap pun mungkin akan menyelesaikan hal itu. Karena ada peraturan. Tetapi, kalau sekarang tidak ada (peraturan) itu, maka siapa yang akan menjamin? Tidak ada juga.

Andai klub-klub mau menyelesaikan kewajiban musim lalu, apakah pemain bersedia dipotong gaji dan kontraknya menjadi lebih kecil daripada musim lalu?

Menurut saya, harga ini kan yang menentukan bukan pemain. Harga ini yang menentukan pemilik klub. Ketika klub A hanya mampu membayar sejumlah angka, misalnya Rp 5 juta, sementara klub lain berani membayar Rp 10 juta. Maka, bukan hal yang salah pemain memilih yang Rp 10 juta.

Artinya, ketika ada tawaran di sana, otomatis tawaran harga itu akan semakin naik. Bagi saya, (harga) itu ada di tangan manajemen. Ketika pemain menetapkan harga 10 dan semua klub hanya mampu bayar 5, tidak mungkin dia tetap pada harga 10. Jadi, kembali ke manajemen klub, menurut saya, karena mereka yang menentukan harga pemain.

Jadi, fenomena klub jor-joran dalam berbelanja pemain bukan salah pemain?

(Masalah) itu ada di manajemen klub. Katakanlah semua klub hanya berani membayar harga 5, pemain tetap pada 10, misalnya. Kalau tidak ada tim yang membayar, dia bisa main di luar negara Indonesia. Itu profesional. Kalau dia mau main di Indonesia, dia harus menurunkan harga.

Tetapi, selama ini kan seperti ini. Ketika seorang pemain bintang dan klub sepakat tidak lebih dari harga sekian, tetapi ketika ada klub lain di belakang menaikkan dengan harga di atasnya, pemain akan memilih (harga teratas) itu. Menurut saya, tidak bisa menyalahkan pemain. (Tetapi) kembali pada klub itu sendiri.

Sikap Pemerintah Mengecewakan
Dalam upaya memperjuangkan hak-hak pemain, Bambang Pamungkas dan rekan-rekannya di Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) telah menemui berbagai pihak terkait untuk mencari penyelesaian dan jalan keluar. Mereka menghadapi tekanan dari sana-sini, terutama dari pihak-pihak yang merasa terganggu dengan langkah-langkah APPI.

Apakah Bepe bersama rekan-rekannya di APPI keder dan ciut menghadapi semua tekanan itu? Apakah mereka akan tetap jalan terus di jalur gerakan memperjuangkan hak-hak pemain? Berikut lanjutan wawancara dengan Bepe:

Terkait perjuangan Anda di APPI, bagaimana respon pihak-pihak terkait, seperti PSSI, KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia), operator liga, pemerintah, dan lain-lain?

Jujur, ini memang sesuatu hal yang agak sedikit berat bagi kami, bagi saya secara pribadi. Ketika kita membela kepentingan pemain, kita dihadapkan banyak hal. Dengan klub yang berlawanan dengan kita, dengan regulator liga, dengan pemerintah yang memfasilitasi. Artinya, bahwa saat ini pemain dibenturkan pada segala sisi.

Ketika saya berurusan membela pemain-pemain di ISL (Indonesia Super League), saya akan berbenturan dengan klub ISL dan KPSI. Ketika saya membela pemain-pemain di LPI (Liga Primer Indonesia), saya akan berhadapan dengan PSSI dan PT LPIS (Liga Prima Indonesia Sportindo). Artinya, ini menjadi sebuah keharusan bagi kami untuk melakukan hal itu.

Tetapi, sekali lagi sejauh ini memang kami kurang puas dengan tanggapan mereka. Akan tetapi, kami selalu berusaha untuk memperjuangkan pemain. Karena pada saatnya nanti, saya yakin, orang akan tahu bahwa sepak bola tidak bisa dimainkan tanpa pemain.

Apa yang membuat Anda merasa tidak puas?

Karena bagaimana izin liga bisa bergulir, sementara tanggungan kewajiban klub masih begitu banyaknya. Padahal, jelas-jelas tertera ketika ada tanggungan klub belum selesai, liga tidak akan berjalan. Nyatanya sekarang (liga) tetap berjalan. Itu menjadi hal yang sangat mengecewakan bagi pemain.

Termasuk tidak puas pada pemerintah yang memberi lampu hijau bergulirnya liga?

Jelas. Mungkin Anda mengerti sendiri ketika kami bertemu BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia), ketika kami bertemu pemerintah, bahwa keberpihakan pada pemain itu masih sangat minim, menurut saya pribadi. Sehingga, ke mana lagi kami memperjuangkan hal ini ketika pemerintah pun memberi kelonggaran pada klub untuk menjalankan regulasi yang mereka tetapkan.

Artinya, bahwa saya setuju ketika kemarin pemerintah menyatakan ini pembelajaran buat semua. Saya setuju. Pemain juga menerima pembelajaran. Tetapi, perlu diingat, pembelajaran ini tidak hanya satu sisi. Artinya, harus berjalan bersama-sama.

Ketika pemerintah mengatakan ini pembelajaran buat pemain, mereka juga harus memberi pembelajaran kepada klub. Dengan apa? Dengan menekan mereka bahwa mereka juga harus mengikuti peraturan yang memang sudah ditetapkan bersama. Jadi, harus ada dua sisi yang sama-sama berjalan sebagaimana mestinya. Karena, saling mengerti itu harus dari dua arah, tidak satu arah.

Kabarnya Anda dan kawan-kawan mendapat teror terkait langkah memperjuangkan hak pemain?

Saya tidak ingin mengatakan itu sebuah teror. Tetapi, bahwa itu mungkin sebuah apresiasi yang agak sedikit melenceng. Artinya, keberadaan beberapa tekanan ini membuktikan bahwa kami mulai dipandang, kami mulai mendapatkan atensi mereka. Bahwa mereka mulai sadar bahwa kekuatan pemain itu luar biasa.

Cuma satu hal yang saya sayangkan, pemain sendiri masih belum menyadari akan hal itu. Sehingga, sejujurnya pemain di Indonesia belum bisa disatukan dalam satu suara untuk menentukan apa keinginan mereka. Ini yang membuat kami dari APPI sedikit prihatin, mengingat kami berjuang untuk membela mereka, tetapi di sisi lain pemain tidak ingin berjuang untuk membela diri sendiri.

Jadi, bagi saya, segala tekanan yang APPI alami adalah sebuah apresiasi yang mungkin sedikit salah. Tetapi, bagi saya, itu sebuah motivasi bahwa perjuangan kami diperhatikan.

Tekanan itu berupa apa?

Saya tidak ingin merinci satu per satu. Karena, saya tidak tahu, apakah tekanan itu kepada saya atau Ponaryo (Astaman) atau Valent (Valentino Simanjuntak, General Manager APPI) atau exco yang lain, saya tidak tahu. Tetapi jujur, bahwa pada akhirnya kami dibenturkan pada sesama kami sendiri.

Ada mantan teman kami yang sudah pensiun dan bekerja di salah satu pihak. Ia bicara tidak dalam arti menekan, tetapi memberikan, “Ayolah.. sebagai teman”. Menurut saya, itu yang paling susah, di mana ia bicara sebagai teman.

Tetapi, sekali lagi, bahwa kita bicara ke depan, kita bicara mungkin anak saya nanti, cucu saya nanti, ingin berkarier sebagai pemain sepak bola. Artinya, kita ingin menata sebuah pondasi kuat untuk mereka (agar) nantinya lebih nyaman bermain. Itu yang penting, dengan apa pun kondisinya dari yang sekarang harus kita jalani.

Tekanan itu datang dari mana saja?

Ya, banyak. Tetapi, sekali lagi, saya tidak ingin merinci itu. Memang ada hal itu terjadi, tetapi itu tidak akan mengurangi niatan kami, APPI, untuk memperjuangkan pemain.

Ada pihak yang menyebut APPI seperti LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang mengusung bendera sosialis di tengah iklim kapitalis. Apakah strategi saat ini sudah tepat?

Saya tidak melihat strategi itu sebagai masalah. Karena, bagi saya, begini. Sesimpel ini: bagaimana seorang bekerja, katakanlah seorang pembantu bekerja kepada majikannya, ketika orang tersebut tidak mendapatkan haknya selama lima bulan, sebuah hal yang wajar ketika dia menanyakan, “Kapan saya akan digaji?” Sesimpel itu.

Kita tidak meminta gaji plus bonus plus bunga. Tetapi, hak kami selesaikanlah. Karena kami sudah menyelesaikan kewajiban kami. Itu saja, sesimpel itu. Bagaimana mereka berpikir bahwa ini strategi yang salah ketika, katakanlah ada pemain yang saat meninggal belum menerima haknya. Di mana hati nurani mereka untuk melihat permasalahan itu?

Saya tidak ingin menanggapi itu terlalu serius. Akan tetapi, saya berpikir, apakah iya, ketika pemain dalam kondisi seperti itu, mereka berpikir kami ini tidak realistis dalam berjuang? Kan tidak seperti itu. Jadi, bagi saya, sesimpel itu permasalahannya. Tetapi, kenapa mereka menanggapinya dengan begitu berlebihan?

Jika Pemain Kompak, Perpecahan Bisa Dihentikan
Kendala yang dihadapi Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) tidak hanya datang dari luar. Kendala itu juga muncul dari kalangan pemain sepak bola sendiri yang masih enggan menyuarakan kepentingan mereka sendiri. Padahal, andaisaja mereka sadar dan berani, para pemain itu memiliki kekuatan dan daya tawar yang tinggi saat berhadapan dengan klub, federasi, atau pihak-pihak lain.

Bahkan, di tengah konflik dan perpecahan sepak bola di Tanah Air yang tidak menunjukkan tanda-tanda bakal berakhir, pemain bisa mengambil peran penting untuk ikut menghentikan konflik dan perpecahan itu. Bambang Pamungkas telah memberi contoh langsung, seperti dipaparkannya dalam lanjutan wawancara berikut ini:

Anda secara ekonomi sudah mapan. Apa yang mendorong Anda untuk terus memperjuangkan itu semua?

Itu yang saya bilang. Dengan perjalanan karier saya, dengan perjalanan karier semua anggota Exco   –di sana ada saya, Kurniawan (Dwi Julianto), Ponaryo, Firman Utina, ada (Ahmad) Bustomi, ada Bima Sakti. Artinya, mereka pemain-pemain yang sudah kenyang main di Liga Indonesia, dari segi ekonomi, alhamdulillah mungkin kami sudah mapan.

Tetapi, ada tanggung jawab moral bagi kami untuk melindungi generasi di bawah kami. Artinya, bahwa kami mungkin sudah sedikit-banyak mengalami segala permasalahan di dunia sepak bola Indonesia. Kami tidak ingin, permasalahan itu juga menimpa pemain-pemain yang nantinya –pemain yang saat ini berada di usia 12, 14, 15 (tahun)– mengalami hal yang sama.

Kita ingin, sekali kali, saya katakan, menata sebuah pondasi yang bagus yang kokoh yang nantinya mereka nyaman bermain sepak bola. Itu adalah dasar pemikiran kami. Jadi, kami tidak hanya berpikir untuk kami, tetapi berpikir ke depan buat generasi di bawah kami.

Kalau bicara mengenai pemain muda, maka tidak pernah ada kata menyerah bagi kami. Karena, saya yakin, banyak bibit atau banyak potensi yang kita punya. Sayang, mereka sangat ingin mencapai hasil maksimal. Dengan adanya kenyamanan dan proteksi bermain, mereka bisa bermain dengan maksimal. Itu yang kita harapkan. Memang ini hal yang berat untuk mengawali. Tetapi, kalau tidak sekarang, maka kapan lagi?

Tetapi, pemain seperti tidak berdaya dan kehilangan orientasi, terlebih saat sepak bola kita mengalami perpecahan seperti saat ini….

Itu yang tadi saya katakan. Kebersamaan pemain masih sangat kurang. Artinya, kesadaran berorganisasi itu yang masih minim. Itu yang sebenarnya ingin kita encourage dari sekarang. Keberadaan APPI sebenarnya adalah, pertama, untuk mengedukasi dan baru memproteksi pemain.

Tetapi, sekarang ini berubah. Karena begitu terbentuk, (APPI) terbentur dengan permasalahan yang luar biasa. Kita harus memproteksi dulu, baru pelan-pelan mengedukasi mereka. Jadi sebenarnya ada perubahan orientasi dulu dari kinerja APPI.

Tetapi, sekali lagi, itulah kondisi sekarang yang kita hadapi. Bahwa pemain masih, saya tidak ingin mengatakan mereka takut, tetapi mereka masih, bingung. Mereka masih belum menyadari. Jadi, lambat-laun kami ingin mereka segera sadar. Mereka segera mengerti bahwa pemain adalah aset. Kami ingin, mereka juga mengerti pemain adalah komponen paling penting dari  sebuah olahraga sepak bola ini sehingga nantinya mereka berani bersikap.

Andai saja ada kebersamaan pemain, apakah Anda berpikir, itu juga bisa mengurangi atau bahkan menghentikan perpecahan?

Tentu. Sebagai contoh ketika waktu itu saya memboikot tim nasional, ketika saya tidak ingin bergabung timnas KPSI (Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia) maupun timnas PSSI. Artinya, kalau kita melakukan itu, kedua tim tidak mempunyai pemain. Mau tidak mau mereka harus duduk satu meja untuk menyelesaikan permasalahan.

Tetapi, ketika mereka sama-sama mempunyai tim, semua akan berjalan terus. Itu juga message yang ingin saya sampaikan ketika bergabung tim nasional. Bahwa tim nasional Indonesia hanya satu, yaitu yang diakui FIFA, yang bisa  bermain di AFF. Itu message yang ingin saya sampaikan. Bahwa tim nasional seharusnya menjadi semacam tempat bergabungnya seluruh talenta terbaik di Indonesia, mewakili bangsa Indonesia.

Karena, timnas ini tidak hanya mewakili PSSI atau mewakili KPSI, atau mewakili La Nyalla atau mewakili Djohar Arifin. Tim nasional Indonesia ya mewakili bangsa Indonesia. Tim nasional adalah kumpulan pemain terbaik dari seluruh Indonesia. Itu message yang ingin saya sampaikan ketika walaupun saya bermain di ISL, tetapi saya memilih bermain di tim nasional.

Bagi saya, tim nasional yang saya bela 13 tahun lalu ya yang ini, masih sama. Tim nasional tidak pernah menjadi dua. Nah, hal seperti itu yang ingin saya sampaikan pada teman-teman bahwa ada saat di mana kita bisa menentukan sesuatu. Ada saat di mana kita harus berani mengatakan benar jika itu benar dan mengatakan salah ketika itu salah. Dan itu yang saat ini perlu mulai teman-teman pertimbangkan. Ketika kita ikut arus, perselisihan ini tidak akan pernah selesai.

Sumber: Kompas Bola

NEWS AND UPDATES