Opini Publik

APPI menanggapi Force Majeure

image

Force Majeure. Sebuah kalimat yang dalam dua hari belakangan tiba-tiba menjadi populer dan hangat dibicarakan kalangan pelaku sepak bola tanah air. Hal tersebut berkaitan dengan keputusan PSSI untuk menghentikan gelaran QNB League 2015, dengan alasan Force Majeure.

Awal sekali saya ingin menegaskan jika artikel ini tidak memiliki tendensi apa pun. Saya juga tidak sedang memposisikan diri untuk mendukung, atau berseberangan dengan siapa pun. Saya hanya ingin membuat sebuah kajian yang sifatnya pendapat pribadi, mengenai apa itu force majeure.

Apa itu force majeure? pertanyaan yang saat ini saya yakin ada di benak sebagian besar pesepak bola di Indonesia, sebuah pertanyaan yang juga ada dalam benak saya. Berdasarkan rasa ingin tahu tersebut, maka saya pun berusaha untuk mencari sumber-sumber yang secara hukum dapat dijadikan referensi untuk memahami apa itu force majeure, dan hal-hal apa saja yang dapat dijadikan dasar untuk mengambil keputusan tersebut.

Force Majeure sendiri secara harfiah dapat diartikan sebagai “Kekuatan yang lebih besar”.

Dalam konteks hukum, force majeure berarti sebagai klausul yang memberikan dasar pemaaf pada salah satu pihak dalam suatu perjanjian, untuk menanggung sesuatu “hal yang tidak dapat diperkirakan” sebelumnya, yang mengakibatkan pihak tersebut tidak dapat menunaikan kewajibannya berdasarkan kontrak yang telah disepakati.

Hal yang tidak dapat diperkirakan tersebut adalah hal yang mengakibatkan situasi di mana tidak dapat diambil langkah apa pun untuk “mengeliminir, atau menghindarinya”. Oleh karena itu penting artinya dua kriteria awal (mengeliminir atau menghindarinya) tersebut harus terpenuhi terlebih dahulu, agar dalil force majeure dapat diterima.

Bagaimana jika salah satu pihak yang terikat dalam kontrak menyadari bahwa ada kemungkinan di masa perjanjian atas kontrak yang ditandatanganinya. Sehingga akan tak terhindarkan, dan tak dapat dieliminir terjadi suatu kejadian tertentu, yang dapat berakibat tidak terlaksananya kewajiban sebagaimana digariskan dalam kontrak.

Dalam ruang lingkup yang lebih spesifik dari force majeure, hal tersebut dikenal dengan “Acts of God” atau katakanlah “Kehendak Tuhan”.

Kejadian-kejadian yang dapat dimasukkan dalam golongan “Acts of God” diantaranya adalah bencana alam seperti banjir, gemba bumi, tsunami, atau gunung meletus.

Bisa juga kejadian yang tidak tergolong sebagai “Kehendak Tuhan” namum memiliki dampak yang sangat luar biasa seperti konflik, perang saudara, darurat sipil maupun militer, kerusuhan masal (kita pernah mengalami pada 1997, dan saat itu liga diberhentikan), krisis ekonomi, atau wabah penyakit (seperti flu burung yang pernah terjadi di daratan Tiongkok pada 2004).

Artinya klausul force majeure sendiri pada umumnya terkait dengan hal-hal yang tidak dapat diprediksi, dan di luar keadaan yang bersifat normal.

Untuk menetapkan sebuah situasi sehingga pada akhirnya dapat dikatakan sebagai situasi force majeure, keadaan tersebut harus terlebih dahulu melewati beberapa tes, diantaranya:

  1. Externality – Dikarenakan Pihak Lain
    – The defendant must have nothing to do with the event’s happening.
    – Pihak-pihak yang terkait kontrak harus tidak ada hubungannya dengan situasi yang tengah terjadi.
    Mengenai poin ini saya pikir pihak federasi beralasan jika liga tidak dapat diputar karena adanya larangan dari pihak pemerintah dalam hal ini Menpora. Pemerintah dalam hal ini bisa dikatakan pihak lain di luar pemain, klub maupun federasi.
    OK lah mungkin kita masih bisa menerima itu, walaupun sejatinya dari apa yang saya tahu pemerintah malah mendorong liga untuk tetap digulirkan, namun dengan persyaratan yang ditentukan. Federasi yang dikarenakan satu dan lain hal, dalam beberapa kesempatan malah menghentikan liga.
  2. Unpredictability – Ketidakpastian
    – If the event could be foreseen, the defendant is obligated to have prepared for it (thus, being unprepared for a foreseeable event leaves the defendant culpable).
    – Jika situasi yang terjadi dapat diperkirakan akan terjadi, maka pihak-pihak yang terkait sudah seharusnya mempersiapkan diri (dengan demikian, jika pihak-pihak tersebut tidak mempersiapkan diri maka akan dinyatakan bersalah).
    Untuk poin ini saya pikir federasi sudah seharusnya memperkirakan. Mengingat peristiwa ini (pembekuan dan pelarangan liga) tidak terjadi secara serta-merta. Ada proses-proses (pembicaraan, negosiasi, perdebatan, hingga perlawanan) yang pada akhirnya membuat pembekuan dan pelarangan liga untuk digelar ini dikeluarkan.
  3. Irresistibility – Tidak Dapat Dihindari
    -The consequences of the event must have been unpreventable.
    – Konsekuensi dari sebuah kejadian yang memang tidak dapat dihindari.
    Poin tidak dapat dihindari ini saya pikir titik paling lemah dari dalil force majeure yang dinyatakan oleh federasi. Mengingat penyebab dari kejadian ini (pembekuan dan tidak dapat digelarnya liga) bukanlah karena hal-hal yang tidak dapat dihindari.

Apa yang terjadi saat ini sangat dapat dihindari. Ada jalan lain yang sebenarnya jauh lebih bijaksana selain menghentikan liga dengan dalil force majeure. Namun federasi seakan mengabaikannya, dengan bersikeras pada pendapat mereka jika keadaan saat ini sudah termasuk dalam kategori force majeure.

Menjadi aneh ketika federasi mengambil sebuah keputusan yang sangat penting (penghentian liga) tanpa persetujuan, atau mendengar pendapat dari klub-klub anggotanya, yang notabene adalah pemilik saham dari PT Liga Indonesia, sebagai operator liga. Belum lagi pendapat pelatih, dan pemain.

Keputusan tersebut seakan menjadi cerminan betapa terburu-burunya federasi dalam mengambil keputusan, tanpa melihat akibat yang akan dipikul oleh struktur (klub, pelatih, dan pemain) di bawahnya. Keputusan tersebut juga berpotensi memunculkan pikiran negatif dari banyak pihak, jika diambil sebagai langkah untuk membebaskan mereka dari tanggung jawab.

Menarik ditunggu bagaimana reaksi dari pihak-pihak (klub, pelatih, dan pemain) yang dalam hal ini terlibat dalam perjanjian yang telah dikategorikan sebagai force majeure tersebut. Apakah mereka menerima, atau menolak. Mengingat dari apa yang saya tahu (silakan koreksi jika salah) situasi force majeure tersebut tidak dapat diputuskan hanya oleh satu pihak.

Kesimpulan
In summary, force majeure events may include any event beyond the control of the parties, such as a war, strike, riot, crime, or an “act of God” (e.g., flooding, earthquake, or volcanic eruption), such that the event passes the three “tests” listed above

Singkatnya, peristiwa force majeure yang termasuk dalam kejadian di luar kendali dari para pihak diantaranya perang, pemogokan, kerusuhan, kejahatan, atau “Kehendak Tuhan” (misalnya banjir, gempa bumi, atau letusan gunung berapi), sehingga kejadian tersebut telah melewati tiga “tes” yang tercantum di atas.

Apakah kondisi di republik saat ini dapat dikatakan tengah mengalami apa itu yang dinamakan “Acts of God” atau “Kehendak Tuhan”? saya pikir tidak. Apa yang terjadi saat ini lebih kepada cerminan begitu tinggi, besar, atau keras ego pihak-pihak yang berseteru tersebut. Bukankah pemimpin yang baik harus selalu peka terhadap keluh kesah dari mereka yang dipimpin. Bahkan dalam ungkapan yang ekstrem lagi, seorang pemimpin seharusnya rela mati agar anak buahnya tetap hidup, bukan sebaliknya.

Dalam sebuah kisah Jenderal Soedirman pun pernah berkata “Jangan korbankan anak buahmu untuk kariermu, tapi korbankan kariermu untuk anak buahmu”.

Oleh karena itu berbekal pemahaman saya dari beberapa referensi yang saya baca, dan sudah saya coba uraikan dengan panjang lebar di atas, dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada siapa pun, dan tanpa ada rasa keberpihakan kepada siapa pun, saya pikir keadaan yang terjadi saat ini masih belum sampai kepada apa itu yang dikategorikan sebagai “Force Majeure”.

Akhir sekali kedewasaan sebuah bangsa tidak hanya terlihat dari bagaimana mereka menghargai adanya perbedaan. Namun lebih dari itu adalah sejauh mana mereka mampu mencari solusi dari setiap permasalahan yang terkait dengan perbedaan tersebut, sesuai dengan aturan-aturan dan kaedah yang berlaku.

Selesai…..
Bambang Pamungkas


 

ACTS OF GOD atau ACTS of GOD(father) ?

Bukan Sepakbola Indonesia namanya jika cerita yang menghiasi adalah tentang prestasi Tim Nasional dalam berbagai kejuaraan, prestasi klub-klub dalam menjalankan sebuah business and achievement plan untuk menjamin kesehatan finansial, dipercaya sponsor dan disegani lawan-lawannya di dalam dan luar negeri, supporter yang tertib, pelatih dan pemain yang menarik hati masyarakat karena kemampuan dan karakternya yang hebat di dalam maupun luar lapangan serta memiliki kekompakan untuk bersikap atas ketidakadilan yang menimpa mereka, wasit yang fair, pengurus sepakbola yang mengutamakan proses untuk tim nasional yang kuat dan liga professional yang kompetitif, sehat sehingga menarik minat sponsor, juga pemerintah yang benar-benar peduli dan berani bersikap, yang ironisnya situasi itulah yang justru menjadi menjadi cita-cita ideal dari sebuah bangsa yang berpopulasi 5 besar di dunia dengan sepakbola sebagai olahraga paling favorit dimainkan dan ditonton oleh masyarakatnya.

Tanpa mengesampingkan ‘kekusutan’ yang terjadi di era sebelumnya, selama 5 tahun terakhir masyarakat disuguhkan sebuah kondisi yang sangat memilukan dan memalukan yang anehnya lebih banyak disebabkan bukan karena para aktor utama di lapangan (pesepakbola), namun oleh para aktor di luar lapangan yang sepertinya ingin mengambil ‘spotlight’ dari perannya di sepakbola Indonesia. Kalau kita runut sebentar, rentetan cerita sepakbola Indonesia begitu menyerupai tipikal sinetron-sinetron di bangsa ini yang berisi kehidupan yang selalu bermasalah, tidak jelas tujuannya, dan cerita yang dibuat tidak ada akhirnya sampai pada titik ratingnya tidak lagi memenuhi standar dari tv yang menayangkan. Sebut saja dualisme induk organisasi, dualisme Liga, bahkan sampai dualisme Tim nasional yang saya cermati hanya terjadi di Negara kita ini, yang terjadi menurut saya karena keadaan memaksa bagi para pihak yang bertikai untuk saling menunjukan kekuatanya. Mengenai yang satu ini saya memiliki cerita saat dalam sebuah acara kongres asosiasi pemain di asia memberikan presentasi tentang keadaan di Indonesia, para delegasi Negara lain mengatakan : ”ada masalah baru apa di Negara anda?”, bahkan pimpinan kongres memberikan pesan di awal “kami tahu cerita Indonesia tidak akan bisa dibahas dalam 1 hari sekalipun, namun sesuai agenda kongres tolong sampaikan hanya dalam 15 menit”, dan delegasi lain pun tersenyum, bukan menertawakan tetapi saya namakan ‘senyum keheranan’. Selesai presentasi , delegasi Palestina mengatakan kepada saya bahwa di negaranya dipisahkan oleh jalur gazza sehingga Negara mereka terbelah 2 bagian yang tidak memungkinkan untuk membentuk 1 tim nasional yang kuat, karena jika coba dilakukan maka akan banyak terjadi kekerasan fisik terjadi di jalur konflik tersebut. Sementara di Indonesia tidak ada perang, tidak ada konflik dengan Negara lain namun bisa begitu anehnya bisa terdapat 2 tim nasional. Maka betul yang dikatakan oleh Bung Karno bahwa perjuangan kita yang meneruskan kemerdekaan lebih sulit karena bukan menghadapi penjajah, namun menghadapi bangsa sendiri.

Selain dualisme juga terjadi pemutusan kontrak besar-besaran terhadap pesepakbola, pelatih dan official, kesepakatan kontrak yang tidak terpenuhi (baca: gaji yang tidak dibayarkan) yang membawa kepada keadaan memaksa bagi pesepakbola sampai frustrasi, menjadi pengangguran, sakit dan bahkan beberapa meninggal dunia.

Akhirnya dualisme pun berakhir, dengan catatan memiliki cerita kusut tersendiri juga sehingga bisa terjadi, sehingga karena keadaan memaksa semua kembali menjadi 1, 1 timnas, 1 liga, 1 induk organisasi.

APPI selaku Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia menyampaikan di awal saat akan bersatunya kembali liga untuk meminta pihak pemerintah yang berwenang melakukan verifikasi agar keadaan yang memaksa banyak pesepakbola menjadi menderita tadi tidak terulanglagi. Apa daya, pemerintah yang ketika itu beda kepengurusan dengan sekarang bersepakat dengan operator liga dalam verifikasi yang diakui mereka sendiri lebih dari 75% klub tidak lolos namun demi menjalankan liga agar menyelamatkan nasib para pelaku sepakbola (kata mereka) membuat mereka dalam keadaan memaksa tetap menjalankan liga yang buntutnya kembali menyisakan banyak tunggakan terhadap bukan hanya pesepakbola namun pelaku yang lain. Dan ini terus terjadi sampai bersatunya liga sehingga dalam keadaan memaksa menentukan ISL dalam 22 klub dan luar biasanya divisi utama ke dalam 60 klub, apa yang terjadi? Kita semua sudah mengetahuinya.

Tiba akhirnya pada musim baru 2015, dimana pemerintahan lebih dahulu mengalami perubahan di akhir tahun 2014 dengan Menteri baru, dan agenda kongres PSSI di bulan April yang akan menentukan pemilihan pengurusan yang baru, sementara Liga akan dimulai rencananya di bulan Februari 2015. Verifikasipun kembali dilakukan dan Licensing Department telah membuat keputusan bahwa klub ISL lolos semua sementara ada 2 klub yang tidak diloloskan yaitu Persiwa dan Persik dikarenakan tidak lolos masalah finansial klub. Masalah mulai kembali menyeruak tatkala Menpora melalui BOPI melakukan verifikasi dengan kewenangan mereka untuk memberikan rekomendasi izin pertandingan olahraga professional dimana sepakbola termasuk di dalamnya. Standard yang dilakukan adalah dengan FIFA licensing regulation tentang 5 syarat yang harus dipenuhi dimana salah satunya adalah tentang Financial dimana tidak boleh ada sama sekali hutang musim sebelumnya kepada para pihak klub tersebut melakukan perikatan, yang salah satunya adalah pesepakbola. Dalam keadaan memaksa karena penderitaan yang terus terjadi APPI yang sudah melakukan release sejak akhir November 2014 pun mengirimkan surat terkait hal tersebut kepada Menpora dan kabar gembiranya sampai liga akan berjalan dari sekitar 12 klub hanya tersisa 1 klub menurut catatan kami yang belum memenuhi kewajiban tersebut, sehingga bagi kami permintaan kami telah terpenuhi hal mana kami mengapresiasi Menpora melalui BOPI dan Klub-klub tersebut.

Drama ternyata tidak berhenti disitu, persis seperti sinetron kita, karena Menpora yang juga membentuk tim 9 juga mencermati hal lain terutama syarat tentang legalitas yang menyangkut kepada pajak. Mengingat belum lengkapnya syarat tersebut dalam keadaan memaksa tidak memberikan rekomendasi kepada PT Liga, yang saat menerima putusan tersebut dalam keadaan memaksa untuk tidak dapat menyelenggarakan liga tepat waktu dan dengan alasan melihat agenda timnas di bulan februari dalam keadaan memaksa PT Liga untuk memutuskan liga berjalan tangga 4 april. Menpora dan PT Liga bersepakat akan diberikannya rekomendasi pada tanggal tersebut jika syarat legalitas telah dipenuhi. Akhirya surat rekomendasi diberikan namun ternyata Menpora menyisakan 2 klub yang tidak diberikan rekomendasi sementara 16 tim lainnya sudah mendapatkannya. Liga Indonesia pun dimulai yang juga membuat kejutan karena dengan alasan bahwa berinduk pada FIFA dan telah mendapat dukungan, maka keadaan memaksa tetap bertandingnya 2 tim yang tidak mendapat rekomendasi tadi.

Melihat hal itu Menpora pun mengajukan somasi kepada PT Liga sampai 3 x, dengan catatan saat dilayangkan somasi kedua PT liga mengirimkan jawaban atas somasi pertama namun tidak memenuhi apa yang diminta oleh Menpora , karenanya, keadaan memaksa Menpora untuk membekukan keberadaan PSSI tepat dihari penyelenggaraan kongres PSSI di Surabaya. Sebelum kongres berlangsung juga PT Liga dalam keadaan yang memaksa mereka kembali menunda liga dengan alasan persiapan kongres dan adanya penyelenggaraan KAA di Jakarta dan Bandung.

Kembali PT Liga tidak mengindahkan surat Menpora dan Liga tetap dilanjutkan di tanggal 25 April untuk ISL dan 26 April Divisi Utama, namun apa daya, karena klub, pelatih, pesepakbola dan masyarakat kembali gigit jari karena keadaan memaksa mereka untuk tidak dapat bertanding karena izin yang tidak keluar dari kepolisian. Keadaan kembali memaksa PT Liga untuk menunda liga dan dengan alasan padatnya jadwal timnas maka paling cepat dimulai di bulan Juni.

Sementara itu Menpora justru meminta PT Liga untuk menjalankan liga dibawah tim transisi yang dibentuk di 9 Mei 2015, bukan PSSI yang berdasarkan surat menteri telah dibekukan. PT Liga pun dengan landasan mereka ditunjuk oleh PSSI menyampaikan hanya mau menjalankan liga atas perintah PSSI.

Sebuah keadaan yang memaksa pesepakbola dilanda kebingungan bagaimanakah nasib mereka yang kebanyakan mata pencaharian utama dan satu-satunya adalah menjadi pesepakbola. Dan keadaan yang lebih memaksa pemain untuk cemas lagi saat tanggal 2 mei 2015 rapat exco PSSI memutuskan memberhentikan ISL sebelum waktunya dengan alasan “KEADAAN MEMAKSA” atau popular dikatakan dalam terminologi hukum sebagai “FORCE MAJEURE”. Sontak berita keputusan tersebut yang jatuh di hari sabtu ditengah sedang sepinya kota Jakarta yang sedang menikmati long weekend karena sejak jumat libur nasional berubah menjadi gaduh paling tidak lewat pemberitaan media yang menaikan kabar ini sebagai tajuk utamanya sepanjang hari.

Kata “keadaan memaksa” atau “force majeure” spontan menjadi trending topic di kalangan masyarakat mulai dari kalangan atas sampai kaum grass root dan jika tidak dimengerti benar akan mengakibatkan persepsi yang keliru bagi yang baru mendengar. Secara harafiah keadaan memaksa adalah sebuah keadaan yang diluar kendali seseorang yang berdampak sebuah keputusan atau tindakan yang mau tidak mau, suka tidak suka harus dibuat atau dilakukan karena “terpaksa”. Bagaimana contohnya? Contohnya adalah tulisan penulis diatas yang banyak menggunakan kata keadaan memaksa sebelum penulis menulisnya dengan tanda kutip dan dengan huruf besar.

Apakah ada bedanya keadaan memaksa harafiah dengan “KEADAAN MEMAKSA” dalam konteks hukum? Penulis berpendapat terdapat perbedaan, karena apabila dalam ranah hukum maka segala hal yang diatur seyogyanya memiliki definisi dengan persyaratan yang ada untuk memenuhi dalil tersebut sehingga tidak seperti arti harafiah yang sifatnya subjektif namun harus objektif dan disepakati para pihak yang memiliki hubungan hukum.

KONSEP FORCE MAJEURE CLAUSE
Sebelum masuk ke dalam force majeure itu sendiri perlu diperhatikan bahwa ada Clause atau klausula yang tertulis diatas. Artinya kata Force Majeure ini dimasukan ke dalam sebuah klausul kontrak yang berarti ada para pihak di dalam sebuah perikatan untuk menyetujui adanya klausul ini, yang jika dinyatakan oleh keduanya maka tidak akan menjadi sengketa namun jika hanya salah satu pihak saja berarti harus ia buktikan di dalam peradilan yang berwenang apakah memang disebut Force Majeure atau tidak.

Force majeure berasal dari Hukum Perancis dan jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “superior force” (kekuatan yang lebih besar), dimana dalam penjelasan bahasa aselinya sebagai “Acts of God” atau jika diterjemahkan bebas kedalam bahasa Indonesia sebagai tindakan-tindakan Tuhan. Dalam hukum di Perancis tersebut force majeure ini dianggap sebagai sebuah keadaan yang tidak terlihat atau tidak terprediksi akan terjadi (Unpredictability), tidak terhindarkan (unavoidable) dan diluar kemauan, kekuasaan dan para pihak di dalamnya tidak ada hubungannya dengan keadaan ini (Externality). Apabila salah satu pihak ingin menyatakan force Majeure kepada pihak lain maka mereka harus membuktikan ini di muka badan peradilan yang berwenang.

Lazimnya, Force Majeure adalah sebuah keadaan yang terjadi diluar kekuasaan/control dari para pihak seperti perang, mogok, kerusuhan, tindakan criminal atau Tindakan Tuhan (acts of God) seperti banjir, gempa bumi, erupsi vulkanik, dll yang memenuhi ketiga persyaratan di atas.

Di Amerika Serikat, Force Majeure berhubungan dengan “common law” dan “Contract law”, dan tidak memiliki ukuran dari segi hukum perdata Negara mereka yang tidak seperti hukum Perancis miliki, sehingga keputusan tentang apakah sebuah keadaan disebut Forje Majeure atau tidak bergantung kepada beberapa variable yang berbeda setiap kasusnya dilihat dari hal diantaranya Hukum Negara bagian setempat, kata yang spesifik disebut dalam kontrak, berbagai kemungkinan, interpretasi pengadilan, dll).

Yang menjadi acuan dasar sebelum melihat hukum Negara bagiannya di amerika banyak mengacu kepada definisi dari Black’s Law Dictionary yang mendefinisikan sbb:
“An event or effect that can be neither anticipated nor controlled. The term includes both acts of nature (e.g. floods and hurricanes) and acts of people (e.g. riots, strike, and wars).

Di Amerika, disarikan dari beberapa keputusan pengadilan tentang Force Majeure dapat disimpulkan:

  • Klausul Force Majeure tidak terstandarisasi
  • Pengadilan lebih banyak memenangkan kasus yang secara tertulis mencakup keadaan memaksa tersebut
  • Force majeure tidak dijadikan alasan untuk memaafkan tindakan kelalaian
  • Force Majeure sering dijadikan dasar dari pihak yang wanprestasi

Pengadilan di Kanada telah mengembangkan “doctrine of frustration” terhadap perkara dengan dasar force majeure karena Acts of God. Disana jika dalam suatu perkara terdapat hal-hal yang memenuhi kriteria, maka pengadilan akan melepaskan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian dikarenakan terjadinya peristiwa Force Majeure tersebut.

Di Inggris, doctrine of frustration kanada diperkenalkan melalui The Implied Term Test. Test tersebut dilakukan dengan cara menganalisa kontrak yang dibuat oleh para pihak yang indikasinya adalah keadaan yang tidak dapat diprediksi dan diluar keadaan yang bersifat di normal.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Di Indonesia sayangnya tidak ada definisi yang pasti dalam hukum negara mengenai “keadaan memaksa” atau Force Majeure. Yang menjadi dasar terhadap hal ini biasanya adalah:

Pasal 1244 KUHPerdata yang mengatur bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian , dan bunga bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanaka perikatan itu disebabkan suatu hal yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya

Sementara Pasal 1245 KUHPerdata mengatur bahwa para pihak tidak harus membayar biaya kerugian dan bunga apabila salah satu pihak berhalangan berprestasi akibat dari kejadian memaksa atau kejadian yang tidak terduga atau akibat hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang

KUHPerdata ini tidak mengatur selanjutnya apa yang disebut:

  • Keadaan memaksa
  • Hal tidak terduga
  • Perbuatan yang terlarang

Sehingga dalam praktiknya dalam klausul Force Majeure banyak mengadaptasi dari referensi luar seperti contohnya yang lazim di Indonesia:

“Tidak ada satu pihakpun akan bertanggung jawab atas kegagalan pelaksaan suatu kewajiban yang disebabkan oleh peristiwa Force majeure. Peristiwa force majeure berarti peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan dan kehendak para pihak tanpa adanya unsur kesalahan atau kelalaian para pihak yang disebabkan oleh sesuatu kejadian atau keadaan memaksa dan istilah ini mencakup kejadian di luar kekuasaan manusia (Acts of God), kebakara, ledakan, atau bencana lain, angina rebut, blockade, perang, pemogokan atau gangguan perburuhan lain, kerusuhan, huru hara masyarakat, tindakan dari penguasa sipil atau militer.”

Dari hal di atas bisa penulis simpulkan bahwa Force Majeure Clause khususnya di Indonesia masih menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda sehingga kemungkinan dispute terjadi apabila salah satu pihak mendalilkan FM ini kepada pihak lain yang mengikatkan diri pada perjanjian mereka.

Kembali kedalam kisah sinetron sepakbola Indonesia, dari pernyataan PSSI yang secara struktural menduduki posisi tertinggi dalam induk organisasi sepakbola di Indonesia melalui rapat tertinggi mereka yaitu rapat exco dengan keputusan bahwa ISL diberhentikan dengan dasar Force Majeure maka patut ditunggu dan dicermati apakah para pihak akan menyetujui dan bersiap menanggung konsekuensinya atau akan ada penolakan terhadap dalil tersebut sehingga akan banyak dispute yang bisa terjadi?

PARA PIHAK

Bahwa klausul Force Majeure mengikat para pihak di dalamnya berarti dalam konteks keputusan PSSI menyatakan ISL berhenti kepada PT Liga maka hubungan perikatan yang ada adalah antara PSSI dengan PT Liga Indonesia sebagai operator liga di Indonesia. Pertanyaan yang timbul adalah apakah PT Liga setuju bahwa memang keadaan ini disebut Force Majeure, dan hari yang sama pertanyaan ini terjawab setuju sehingga PSSI dan PT Liga sepakat bahwa ini adalah Force Majeure sehingga ISL diberhentikan

Hubungan perikatan yang selanjutnya adalah antara:

  • PT Liga selaku operator dengan PT-PT dari klub ISL yang memegang saham 99 persen di dalamnya?
    Apakah klub-klub yang juga memiliki hubungan perikatan dengan pihak lain di bawahnya sepakat bahwa Force Majeure dijadikan dasar sehingga ISL berhenti? Jika setuju maka Klub-klub akan berhadapan dengan pihak lain dari PT mereka masing-masing, namun jika tidak setuju maka akan ada legal dispute yang penyelesaiannya telah dipilih dan disepakati dalam kontrak masing-masing PT dari klub dengan PT Liga Indonesia
  • PT Liga selaku operator dengan sponsor resmi mereka yang saat ini paling tidak ada 2, yakni sponsor yang menempatkan nama perusahaan di Liga dan dengan Sponsor Hak Produksi yang dipegang oleh satu perusahaan produksi

Selanjutnya dan yang paling berpotensi untuk menimbulkan polemik hukum adalah Hubungan antara PT dari klub dengan pihak lain dalam perikatan yang mereka buat masing-masing, diantaranya:

  • PT Klub dengan Sponsor
  • PT Klub dengan Pesepakbola
  • PT Klub dengan Pelatih dan official
  • PT Klub dengan karyawan lainnya
  • PT Klub dengan pihak lainnya seperti sewa stadion, hotel, tiket penerbangan dll

Dan juga pihak-pihak lain yang masih bisa berdampak dengan masalah ini contohnya :

  • Pemegang Hak Produksi dengan Televisi pemegang hak siar Liga Indonesia

Khusus mengenai hak bagi pesepakbola menarik dicermati karena ketidakseragaman standard kontrak yang berlaku hingga saat ini membuat kontrak yang satu berbeda dengan kontrak yang lain dimana mengenai Force Majeure ini terdapat sebagian yang mencakup klausul ini namun terdapat sebagian juga yang tidak mencakup klausul ini.

Karena itu patut untuk kita lihat kelanjutan drama dari sinetron sepakbola di Indonesia ini, apakah keadaan memaksa dalam arti harafiah bagi para aktor akan kembali membuat mereka nelangsa karena peran mereka berakhir seiring diakhirinya sinetron ini, ataukah justru membuat mereka mempertanyakan “KEADAAN MEMAKSA” dari keputusan penguasa sebagai Executive Producer, Producer, and Director untuk meminta agar sinetron sepakbola ini dilanjutkan karena collateral damage yang ditimbulkan akan sangat banyak sementara rating penonton masih sangat tinggi?

Keadaan memaksa yang diakibatkan “Acts of God” memang tidak bisa kita hindari karena DIA lah yang mempunyai kuasa atas dunia ini, dan kita semua harus pasrah untuk menerimanya, tidak bisa dirubah dan berarti memang sinetron ini harus berakhir. Namun di sisi lain ada isu berhembus bawa keadaan ini lebih dikarenakan “Acts of God(father)” sehingga terjadi keadaan yang memaksa. Jika memang ada, penulis berharap situasi ini benar terjadi karena “Acts of God(father)” , karena mereka ini masih manusia yang memiliki hati, pikiran dan perasaan yang baik, sehingga para aktor dan pemirsa pecinta sinetron sepakbola Indonesia masih punya harapan bahwa pikiran mereka dan hati mereka yang mungkin saat ini keras dapat berubah, melunak, dan bersikap adil, dan berhikmat bukan hanya untuk melanjutkan sinetron sepakbola Indonesia ini saja tapi membawanya menjadi kisah sinetron yang berkualitas, professional, berprestasi, dan diminati sampai di negeri orang.

Jika itu terjadi saya yakin sinetron ini akan menjadi sinetron yang paling panjang episodenya, paling banyak penontonnya karena penuh dengan jalan cerita yang berbobot diperankan oleh para aktor yang handal dikelola oleh para executive producer, producer dan director yang handal, dan dibina serta diawasi oleh pemerintah yang benar dan bijak.

Sepertinya memang mimpi, tapi penulis berada dalam keadaan memaksa untuk memilih terus bermimpi dan melakukan apa yang bisa penulis lakukan sampai tercapainya mimpi itu.

Valentino Simanjuntak SH, MH

[1] God Father : a man who is influential or pioneering in a movement
or organization. ( Source : www.oxforddictionaries.com )
Figure yang paling berpengaruh untuk menentukan
dalam pergerakan sebuah organisasi.

Tidak adanya suatu definisi yang tegas terhadap force majeure, memunculkan perbedaan interpretasi dalam mengartikannya. Salah satu upaya para pihak untuk mencegah perbedaan interpretasi mengenai force majeure adalah dengan memasukkan secara terperinci mengenai keadaan-keadaan yang dianggap sebagai force majeure dalam kontrak diantara para pihak. Hal tersebut ternyata tidak cukup malah cenderung semakin mengaburkan gambaran mengenai force majeure.

Demikian pula dalam kasus yang kini terjadi dalam dunia pesepakbolaan Indonesia. force majeure digunakan sebagai dasar oleh PSSI menghentikan kompetisi sepakbola Indonesia. PSSI beranggapan bahwa keadaan yang sedang terjadi (Pembekuan PSSI oleh Menpora dan surat Menpora kepada Polri) merupakan sebuah dasar keadaan yang membuat kompetisi dihentikan menurut tafsir mereka.

Kita perlu mengetahui dahulu definisi dari force majeure. force majeure dalam peraturan perundang-undangan Indonesia:
– Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( “KUH Perdata”)

KUH Perdata tidak mengenal istilah force majeure tetapi Pasal 1244 KUH Perdata mengatur bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.

Lebih lanjut, Pasal 1245 KUH Perdata mengatur bahwa para pihak tidak harus membayar biaya kerugian dan bunga apabila salah satu pihak berhalangan berprestasi akibat dari kejadian memaksa atau kejadian yang tidak terduga atau akibat hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. KUH Perdata tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang disebut sebagai keadaan memaksa, hal tidak terduga dan perbuatan yang terlarang tersebut.

Atau dalam Contoh klausa standar force majeure dalam perjanjian:
“Tidak ada satu pihakpun akan bertanggungjawab atas kegagalan pelaksanaan sesuatu kewajiban yang disebabkan oleh Peristiwa Force Majeure. Peristiwa Force Majeure berarti peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan dan kehendak para pihak tanpa ada unsur kesalahan atau kelalaian para pihak yang disebabkan oleh sesuatu kejadian atau keadaan memaksa dan istilah ini mencakup kejadian di luar kekuasaan manusia (Acts of God), kebakaran, ledakan atau bencana lain, angin ribut, blockade, perang, pemogokan atau gangguan perburuhan lain, kerusuhan, huru-hara masyarakat, tindakan dari penguasa sipil atau militer.

Akan hal ini patut dipertanyakan alasan PSSI menggunakan klausul force majeure sebagai dasar memberhentikan liga. Karena pembekuan PSSI bukanlah suatu yang sifatnya mendadak ataupun Act of God. Keputusan Menpora mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tersebut tidak lain karena abai nya PSSI terhadap 3 surat yang berturut-turut diberikan oleh Menpora. Dan juga Menpora telah mempersilahkan PT.Liga Indonesia untuk meneruskan kompetisi. Diberikannya sanksi administratif oleh Menpora kepada PSSI bukanlah force majeure, karena Menpora mengeluarkan keputusan ini bukan secara mendadak melainkan ada sebabnya terlebih dahulu. Surat dari Menpora terhadap Polri atas tidak diterbitkannya izin penyelenggaran kompetisi ISL juga bukanlah force majeure karena hal ini merupakan suatu akibat yang terstrukturisasi. Karena Menpora mempertanyakan keterlibatan Arema dan Persebaya dalam ISL padahal keduanya belum mendapat rekomendasi sampai pada akhirnya PSSI diberikan sanksi admisitratif yang membuat tidak mendapatnya izin keseluruhan kompetisi oleh Kepolisian Republik Indonesia.

Imbas dari keputusan ini secara hukum tidak perlu ada yang dikhawatirkan sejujurnya, karena pemberian sanksi administratif oleh Menpora kepada PSSI membuat segala produk yang dibuat PSSI tidak berlaku. PSSI-pun mengakui pihaknya telah “dibekukan” dengan Surat Keputusan Menpora tersebut dikarenakan PSSI menggugat SK tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Yang menjadi persoalan dari kemarin ialah PT.Liga Indonesia dan Klub hanya mau bernaung di bawah payung PSSI. Secara alamiah mereka serta merta akan mematuhi keputusan PSSI. Tapi perlu diingat bahwa PT.Liga Indonesia dan Klub punya hubungan hukum dengan berbagai pihak. Secara Internal, PT.Liga Indonesia memiliki hubungan hukum dengan Perseroan Terbatas (PT) yang menaungi Klub. Klub memiliki hubungan kontraktual dengan pemain, pelatih, serta official tim. Secara eksternal baik PT.Liga Indonesia maupun Klub memiliki hubungan kerja sama dengan Sponsor. force majeure dapat digunakan dalam kasus ini jika kedua belah pihak atau semua pihak yang terhubung sama-sama sepakat mengakhiri kerjasama dengan landasan force majeure ini dengan dalil perdata konsensualisme antar pihak. Tapi sekali lagi perlu diingat, pada kasus ini hubungan hukum bukan hanya ada pada PSSI – PT.Liga Indonesia ataupun Klub – PT.Liga Indonesia / PSSI, tetapi juga dengan pemain, pelatih, official tim, serta Sponsor.

Mengambil sudut pandang dari pemain, tidak semua kontrak pemain dengan klub memuat klausul force majeure ataupun sejenisnya. Pemutusan kontrak secara sepihak rawan terjadi dalam kasus ini dan lagi-lagi pemain yang menjadi korban. Kalaupun pada akhirnya seluruh klub akan “tunduk” dengan PSSI seperti yang sudah terjadi kebanyakan selama ini, meskipun belakangan terdapat beberapa klub yang tidak setuju dengan keputusan PSSI, dasar alasan force majeure tidak dapat diaplikasikan jika salah satu pihak saja (Pemain, pelatih, official tim, sponsor) yang terkait tidak sepakat dengan alasan force majeure ini.

Perlu kearifan dan kebijkasanaan diri dari sang pengambil kebijakan untuk memikirkan kebaikan bersama terutama untuk kemajuan sepakbola Indonesia.

Salam Profesionalitas,
M. Hardika Aji, S.H.

NEWS AND UPDATES